Masjid Agoeng Soerakarta
Masjid Agung Surakarta pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.
Masjid Agung dibangun oleh Sunan Paku Buwono III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. Masjid ini merupakan masjid dengan katagori Masjid Jami, yaitu masjid yang digunakan untuk salat lima waktu dan salat Jumat. Dengan status Masjid Negara/Kerajaan karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan.
Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.
Masjid Agung terdiri dari:
* Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.
* Ruang Salat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab dengan kelengkapan mimbar sebagai tempat Khotib pada waktu Salat Jumat.
* Pawestren, (tempat salat untuk wanita) dan Balai Musyawarah,
* Tempat berwudhu
* Pagar Keliling, dibangun pada masa Sunan Paku Buwono VIII tahun 1858.
* Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW).
* Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Salat Jumat dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
* Gedung PGA Negeri, didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono X (1914) dan menjadi milik kraton.
* Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928.
* Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu shollat.
* Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.
Masjid Mangkoenegaran
Pendirian Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I di Kadipaten Mangkunagaran sebagai masjid Lambang Panotogomo.
Sebelumnya terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Adipati Mangkunagara II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.
Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunagaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunagaran.
Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada saat pemerintahan Adipati Mangkunagara VII, pada saat itu Mangkunagara VII meminta seorang arsitek dari Prancis untuk ikut serta mendesain bentuk masjid ini.
Luas kompleks masjid sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung.
Masjid Mangkunagaran terdiri dari:
* Serambi: merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur Raden Mas Said (Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunagaran. Di serambi terdapat bedug yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara.
* Maligin: dibangun atas prakarsa Adipati Mangkunagara V, digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum.
* Ruang Salat Utama: merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 penyangga pembantu yang berhias huruf kaligrafi Alquran.
* Pawasteren: merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat salat khusus wanita.
* Menara: dibangun tahun 1926 pada masa Mangkunagara VII. Digunakan untuk menyuarakan adzan, pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.
Saat ini Masjid Mangkunagaran bernama Al-Wustho, diberi nama demikian pada tahun 1949 oleh Bopo Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi. Masjid Mangkunagaran merupakan masjid yang cukup unik karena di sini dapat dilihat hiasan kaligrafi Alquran di berbagai tempat, seperti pada pintu gerbang, pada markis/kuncungan, soko dan Maligin.
Masjid Lawejan
Masjid Laweyan dibangun pada masa Djoko Tingkir sekitar tahun 1546. Merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang.
Awalnya merupakan pura agama Hindu dengan seorang biksu sebagai pemimpin. Namun dengan pendekatan secara damai, seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi Masjid.
Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai Kampung Belukan (beluk = asap).
Pemilik masjid ini adalah Kyai Ageng Henis (kakek dari Susuhunan Paku Buwono II). Seperti layaknya sebuah masjid, Masjid Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk nikah, talak, rujuk, musyawarah, dan makam.
Kompleks masjid menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta.
Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.
Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu diantaranya adalah
* Kyai Ageng Henis
* Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Keraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Keraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.
* Permaisuri Paku Buwono V
* Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II-Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Keraton dari Kartasura ke Surakarta.
* Nyai Ageng Pati
* Nyai Pandanaran
* Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX.
* Dalang Keraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul untuk mendalang di Laut Selatan.
* Kyai Ageng Proboyekso, yang menurut legenda merupakan jin Laut Utara yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta
Di makam ini terdapat tumbuhan langka Pohon Nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Betari Durga. Makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Keraton Kartasura
Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus dibuat untuk digunakan oleh PB X untuk ziarah ke makam dan hanya digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.